Biji kakao, yang merupakan buah dari pohon kakao, memiliki nilai ekonomi yang tinggi karena merupakan bahan utama dalam pembuatan coklat. Biji kakao utamanya terdiri dari 3 varietas biji, yaitu Forastero, Criollo, dan Trinitario.
Forastero merupakan jenis biji yang paling banyak digunakan di dunia, mencapai 90% produksi kakao dunia. Hal ini disebabkan oleh biji varietas ini lebih tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan kedua varietas lainnya, meskipun secara kualitas tergolong lebih rendah. Sementara itu, varietas Criollo merupakan varietas yang terbaik namun lebih sering terserang penyakit.
Pada umumnya, produksi kakao dunia berasal dari benua Afrika, yang kemudian diekspor ke Eropa (Belanda dan Jerman) dan ke Amerika Serikat untuk proses penggilingan. Namun akhir-akhir ini, Afrika mulai berkembang menjadi salah satu daerah produksi biji kakao terbesar di dunia.
Data produksi kakao pada tahun 2015/2016 menujukkan bahwa Ivory Coast (Pantai Gading) menjadi produsen kakao terbesar di dunia dengan jumlah produksi sebanyak 1.581.000 ton, disusul oleh Ghana sebanyak 778.000 ton, Indonesia 350.000 ton, dan Ekuador 232.000 ton.
Baca: Produksi Kopi Turun dalam 5 Tahun Terakhir, Apa yang Harus Dilakukan?
Kakao di Indonesia
Sektor kakao di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan signifikan, yang didukung oleh perkembangan partisipasi petani kecil. Sejak 25 tahun terakhir, biji kakao merupakan komoditas ekspor yang penting bagi Indonesia.
Para petani di Indonesia memiliki kontribusi paling besar dalam produksi kakao nasional. Saat ini, luas perkebunan kakao di Indonesia mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Produksi kakao di Indonesia terletak di Sulawesi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Papua, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat.

Dari wilayah-wilayah tersebut, 75% produksi kakao Indonesia terletak di Sulawesi. Sejak tahun 2009, pemerintah telah mencanangkan program 5 tahun revitalisasi kakao guna meningkatkan produksinya. Program ini terdiri dari intensifikasi, rehabilitasi, dan rejuvenasi yang mencakup total area 450.000 hektar.
Salah satu faktor yang menghambat perkembangan industri kakao adalah tanaman yang sudah tua (sudah ditanam sejak 1980-an), sarana dan prasarana yang kurang memadai serta perkebunan yang kurang terawat. Untuk itu, agar mencapai target pemerintah dalam meningkatkan produksi kakao, investasi pada sektor kakao harus ditingkatkan.
Kakao menempati urutan ke-4 ekspor terbesar Indonesia dalam bidang pertanian setelah minyak sawit, karet, dan kelapa. Namun, mayoritas ekspor kakao Indonesia merupakan kakao mentah, bukan yang sudah diproses, yang berarti Indonesia belum bisa memberikan nilai tambah dalam produksi ini. Beberapa negara tujuan ekspor Indonesia untuk biji kakao, antara lain Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat.
Baca: Fakta tentang Padi (Beras) di Indonesia
Prospek Produksi Kakao di Indonesia
The World Cocoa Foundation mengungkapkan bahwa peningkatan permintaan kakao adalah 3% per tahun dalam 100 tahun terakhir ini. Dan, diestimasikan, peningkatan permintaan kakao dunia pada tahun-tahun ke depan akan meningkat pada level yang sama. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan untuk Indonesia sebagai salah satu negara penghasil dan pengekspor kakao terbesar di dunia.

Namun demikian, Indonesia menghadapi beberapa kendala dalam meningkatkan peran penting kakao dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Lebih dari 90% kakao di Indonesia diproduksi oleh petani kecil yang memiliki kendala finansial untuk mengoptimalkan kapasitas produksi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi karena pohon kakao yang sudah tua, berpenyakit, terkena bencana alam, dan sebagainya.
Selain itu, karena kelapa sawit dan karet dianggap lebih menjanjikan, banyak petani kakao yang beralih fokus ke komoditas tersebut yang menyebabkan berkurangnya area perkebunan kakao di Indonesia.
Berdasarkan sejarah, produksi kakao Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao mentah. Untuk itu, pemerintah melalui Menteri Keuangan menetapkan kebijakan baru dengan mengenakan pajak pada ekspor biji kakao mentah yang tertuang dalam dekrit No. 67 tahun 2010. Besar pajak yang dibebankan adalah 5-15% tergantung fluktuasi harga dunia.
Sebelumnya, pajak hanya berlaku untuk biji yang diproses. Pajak ekspor baru ini merupakan insentif untuk membangun industri domestik dan supaya perusahaan pengolah meningkatkan kinerja mereka. Beberapa laporan menyebutkan bahwa beberapa perusahaan pengolah biji kakao tidak beroperasi secara maksimal. Hal ini dikaitkan dengan berbagai faktor, misalnya infrastruktur yang kurang memadai.
Laporan terakhir menyebutkan bahwa produksi nasional kakao Indonesia pada tahun 2017 mencapai 375.000 ton dan ekspor nasional pada tahun 2016 hanya mencapai 27.500 ton.
Baca: Fakta dan Tantangan Pertanian di Indonesia
Sumber : Indonesian Investment
Sumber gambar utama: worldcocoafoundation.org
Penulis: Nevy Widya Pangestika
Mahasiswa Agroekoteknologi Universitas Udayana
Sudah download aplikasi Pak Tani Digital? Klik di sini.